Tafsir Dan Kekuasaan: Identitas Khalifah Dalam Framing Demokrasi Religius (Studi Tafsir Al-Azhar Karya Buya Hamka)
Keywords:
Khalifah, Demokrasi, Pemerintahan, KekuasaanAbstract
Khalifah dengan framing demokrasi religius menjadi kajian yang cukup menarik untuk ditelusuri. Pasalnya banyak menimbulkan delik yang cukup kompleks tatkala demokrasi secara terminologi dan normatif menimbulkan kontroversi dikalangan agamawan, ada yang menganggap demokrasi bagian dari kesyirikan, demokrasi sama dengan syura ataupun syura merupakan antitesa dari demokrasi. Disamping itu, term khalifah telah menjadi simbol identitas yang terpaut padanya nilai-nilai agamis. Maka muncullah konsep pemikiran baru atas reinterpretasi makna “khalifah” secara fundamental ditengah-tengah ideologi demokrasi dari pemahaman yang singular ke partikular, Buya Hamka dalam kitab tafsirnya Al-Azhar berupaya menawarkan paradigma nilai-nilai keislaman sebagai jalan tengah proses menuju sistem demokrasi yang religius. Sehingga penulis tertarik untuk mengeksplorasi dan menelaah penafsiran Buya Hamka yang mengakomodasikan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai landasan ideologis pemaknaan term khalifah dan kaitannya dalam bingkai demokrasi religius. Penelitian ini adalah penelitian pustaka dengan pendekatan metode konten analisis dan menggunakan teori demokrasi religius dan teori konstruksi sosial. Sumber primernya adalah kitab tafsir Al-Azhar terbitan Pustaka Nasional PTE LTD Singapura tahun 1982 dan sumber sekundernya adalah buku karya Buya Hamka seperti Urat Tunggang Pantjasila disamping itu, penulis juga menggunakan jurnal, artikel yang berkaitan dengan objek formal penelitian baik secara rinci maupun hanya secara umum. Hasil penelitian ini adalah:(1) khalifah bukanlah individu yang dikultuskan hal ini berdasarkan penafsiran Buya Hamka pada surah Al-Baqarah ayat 30-33 dan Shad ayat 26 terkait fungsi dan tugas khalifah (2) penafsiran kata منكم pada surah An-Nisa’ ayat 59 dan kata شورى pada surah Asy-Syura ayat 38 dan Ali-Imran ayat 159 sebagai penegasan bahwa manusia memiliki peran untuk menentukan nasibnya sendiri dengan memilih pemimpin atau khalifah yang menurut “ijtihad” mereka mampu mengemban kepemimpinan. (3) selagi mencegah yang mungkar dan menjalankan yang ma’ruf maka kebebasan dan kekuasaan khalifah dapat terus dibenarkan